Melihat beberapa cuplikan berita
mengenai tawuran pelajar beberapa hari lalu, telah membuat hati ini miris.
Sedih banget. Melihat mereka dengan garangnya saling berusaha menjatuhkan
“lawan” . dengan pedang atau parang ditangan, dengan batu sebesar kepalan
tangan atau dengan peralatan lain yang dialihfungsikan layaknya senjata perang.
Memang bukan kejadian baru, tapi entah mengapa tayangan yang mengupas secara
khusus mengenai tawuran ini kembali membuat diri ini berfikir.
Pernahkah terlintas dalam benak
mereka tentang dampak tawuran terhadap orang orang yang mereka cintai dan
mencintai mereka, dalam hal ini keluarga secara khusus. Tentang perasaan
orangtua, nenek dan anggota keluarga mereka yang sekian tahun bekerja keras
demi pendidikan mereka dengan harapan bahwa mereka akan menjadi orang yang
lebih baik dari orangtuanya, yang mengantar mereka ke sekolah dengan doa. Atau
bahkan perasaan orang lain yang tak bersalah, yang telah menjadi korban baik
fisik maupun benda atas tindakan anarkis mereka. Atau nyawa yang sekarang tidak
lagi memiliki harga.
Harapan pupus hanya karena ego.
Atas nama setia kawan, jiwa tersingkirkan. Akal sehat lumpuh hanya karena
nafsu. Bangga jika mampu memenangi pertempuran, meskipun dalam kenyataannya
semua berada dalam pihak yang kalah. Untuk bela siapa? Nama baik sekolahkah?
Menjaga nama alumni yang telah menang dalam pertempuran sebelumnya?. Tawuran selintas seperti penyakit yang telah
mengakar dan sepertinya telah menjadi budaya. Melanda hampir seluruh tingkat
usia, apakah para pelajar dari tingkat SMP atau SMA, mahasiswa yang seharusnya
sudah memiliki pola pikir lebih dewasa , bahkan warga yang seharusnya menjadi
panutan dalam hidup bermasyarakat. Mungkin usia tingkat SD saja yang masih bersih
dari penyakit ini, ataukah memang sudah ada tapi belom tersorot? Naudzubillah.
Siapa yang salah? Entah. Tetapi
yang pasti ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, instansi pendidikan dan keluarga secara
khususnya untuk terus melakukan pembinaan kepada bibit bibit muda negara ini.
Kematian memang takdir ilahi,
satu hal yang tak bisa dipungkiri, namun jika hanya karena ego dan nafsu yang
membuta telah membuat jiwa dan kebahagiaan terenggut, haruskah pertikaian tetap
berlanjut?
Tulisan ini hanya bersifat
ekspresi, murni karena kesedihan jiwa yang memimpikan kedamaian di negeri
tercinta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar